Pages

Thursday, May 31, 2012

Terjebak Dalam Cubikel Takdir


Kita, yang seringkali bersikukuh untuk mengubah seseorang, memermaknya agar sempurna di mata kita, memaksanya agar muat dan tepat dalam ruang hidup kita, memangkas atau menambalnya agar bisa pas dengan kebutuhan kita, tanpa peduli bahwa apa yang kita perbuat sesungguhnya adalah siksaan bagi yang bersangkutan. 


Dalam penjara logika dan mental kita masing-masing, kita berpikir bahwa mengubah seseorang adalah solusi yang realistis dan humanis. Atas nama cinta dan apa pun, kita bahkan merasa bahwa kita sedang berbuat kebaikan.Berbuat kebaikan dengan membuat seseorang yang kita ingini menyandang predikat sebagai “mahasiswa STAN”. Bisa itu disebut sebagai kebaikan jika seseorang itu begitu terpaksa dan tertekan?Bagaimana jika seseorang itu ternyata adalah kita. Kita yang terpaksa menjalani rutinitas dan segala tetek bengeknya di STAN, dengan dosen yang jarang masuk, dengan fasilitas seadanya, dengan lingkungan yang terisolir, dengan seragam polos2 hariannya, dengan mata kuliah2 yang terlalu absurd untuk diaplikasikan saat itu juga, tanpa harus menunggu bertahun2 untuk menjadi atasan yang berkuasa, dengan rasa yang sering kali melonjak keluar dan berteriak, bahwa ini bukan yang kita inginkan dari awal, bahwa kita di sini karena seseorang yang ingin mengubah kita, mengubah kita, lebih tepatnya mengubah masa depan kita yang menurut mereka menjadi lebih baik. 


Di balik itu semua, dinding pikiran kita dikebiri untuk berpikir bahwa segala sesuatunya bisa berawal dari apa yang tidak kita inginkan menjadi satu satunya hal yang bisa membuat kita survive.Coba kita berpikir, survive untuk hidup kita kelak, secara tidak sadar alam pikiran kita telah disetting untuk survive ketika kita mencoba keras bertahan untuk tetap berada dalam segi enam hidup yang sudah kita dapatkan, log perjalanan yang menjadi alur garis hidup kita, pada saat itu kita berusaha sekuat imajinasi kita untuk membuat kita tetap alive, dengan cara bagaimana? Apapun. Apapun yang kita ingin lakukan. Tidak ada siapapun yang memegang lingkaran kendali otak kita kan selain diri kita sendiri bukan?Diri kita sendiri. Perubahan tak pernah terjadi oleh hal lain di luar kita, meski faktor eksternal bisa jadi pemicunya. Yang mampu menggerakkan perubahan sejati hanyalah kita sendiri.


Kita pun acap kali terlena dalam ekspektasi serta upaya untuk mengubah orang lain, dan malah lupa dengan pembenahan yang paling penting dan realistis yakni, sekali lagi, diri kita sendiri. Dan ini adalah masalah yang amat sering kita alami. Dari waktu ke waktu.Bukan dengan sekadar berlindung di balik tameng kebenaran warisan, kata orang, atau segunung kitab. Jika religi dimaknai sebagai sesuatu yang hidup, empiris, otentik, dan bukan sebaris huruf di KTP, maka pembenahan diri sendiri adalah part of my religion.


Boleh dibilang terjerumus di STAN bagi kamu2 yang dari awal sama sekali tidak berniat kuliah disini, secara kasarnya tidak mau menjadi budak negara mengatur perekonomian dibawah kekuasaan pejabat tinggi dan antek2nya,,atau malah sebaliknya? Kamu2 ada yang bercita2 menjadi salah satu antek2 itu, bahkan ingin menjadi penguasa. Penguasa. Penguasa yang mengatasnamakan rakyat mengatur ini itu demi rakyat, tapi tersingkup ternyata ada kong kalikong yang dijadikan aji mumpung,,mumpung jadi penguasa maka bisnis pribadi dijadikan alat kesejahteraan atas nama rakyat. ATAS NAMA RAKYAT.Sisi pandang lain,,Kita telah ditakdirkan menapakkan raga di bumi STAN. 


Mungkin memang tak banyak yang berpikiran sejalan dengan saya, tapi mari kita lihat dan peduli barang sekedip.Kitaàdi STANàkuliahàlulusàwisudaàmagangàdiklatàpenempatanàPNS-------------------------------------kitaèPNS------------------------------------------------------------Apa yang dapat mengubah segalanya dari STAN, hidup siapa?kamu?saya?rakyat?Tengok apa yang telah saya tulis di atas, mengubah seseorang menjadi pas dalam ruang kita, siapa yang bisa? DIRI KITA SENDIRI.


Hidup menjadi percuma kalo kita hanya berdiam diri saja, meratapi penyesalan tak berkesudahan, menghujat takdir bahwa kita berada disini,STAN memang bukan segalanya, bagaimana kita bisa bilang STAN adalah segalanya kalau kita tidak pernah merasa nyaman dengan kondisi yang telah disodorkan ke kita?Tapi segalanya bisa berawal dari STAN. Ha??? Bisa ya??bukan itu, tapi berawal dari diri kita sendiri, bagaimana kita menyikapi rutinitas kita, bagaimana kita membawa jiwa kita ke dalam lubuk niat yang lurus, bagaimana kita mendapatkan yang terbaik dikubangan yang tidak diinginkan, bagaimana kita mengubah diri kita sendiri, bagaimana kita bisa melihat ke depan bahwa kita tidak hanya menjadi seorang PNS yang PNS (Penurut Negara Setia), bagaimana kita melihat senyum orang lain melihat kekuatan yang ada dalam diri kita ketika gol, bagaimana kita menjadikan hari2 kita di STAN menjadi sesuatu yang terlalu indah untuk dilupakan dan terlalu sedih untuk dikenang. DIRI KITA SENDIRI.




Hingga sekarang, saya masih terus belajar, menggali, bergelut dan bergulat. Bukan hanya dengan ketatnya persaingan yang sama2 ingin mengubah diri sendiri, tetapi bermetamorfosis dengan keadaan, social, orang lain, orang yang entah bisa atau tidak menjadi segala2nya buat kita, bukankah “katanya” segalanya bisa berawal dari STAN? Hehehe..


Kita bertemu orang baru. Hati ini lantas berharap, pikiran ini lantas menimbang dan menaksir.
Ketidakpastian seringkali membuat kita tidak merasa nyaman. Jika kita mengalami bahagia, kita ingin sekali menggenggamnya, kalau bisa untuk selama-lamanya. Tapi kalau kita sedang mengalami kedukaan, kita ingin sekali mengusirnya, kalau bisa secepat-cepatnya. Itulah rahasia hidup. Kita tidak tahu sampai kapan kebahagiaan kita bertahan, dan kapan kedukaan kita akhirnya lepas.




Tidak jarang kita menemui kesulitan2 untuk mengubah diri sendiri menjadi apa yang menjadi tujuan diri sendiri pula. Masalah, polemik, kekisruhan, riweuh, ribet, kebetean, kebosanan, ketidaksukaan, yang kadang membuat kitta merasa muak, lantas mengumpat, marah bahkan tak jarang mendendam, pada siapa? Pada nasib diri kita sendiri.


Masalah = Situasi + Perasaan. Masalah baru hadir ketika sebuah situasi kita bubuhkan justifikasi “tidak suka”, “sebal”, “benci”, “tidak benar”, dsb. Namun seringnya kita hanya fokus ke situasi dan mencari cara untuk mengubahnya, sementara kendali itu tidak selamanya ada di tangan kita. Inilah yang akhirnya membuat batin kita lelah, frustrasi, dan stres. Ketika kita mau menghadapi perasaan kita, menerimanya sebulat-bulatnya, atau dalam terminologi meditasi, mengamati sepenuhnya, maka situasi cuma jadi situasi tok. Netral.


Jadi, ketika ada masalah dengan rutinitas, amati diri kita, kita harus mengakui yang satu ini: keheningan adalah rutinitas yang esensial bagi kewarasan dan keselarasan diri kita. Coba rasakan dalam keheningan masalah kita, dimana hanya ada diri kita sendiri untuk tahu, dan hanya kita sendiri yang berhak menentukan apa yanag harus kita lakaukan, coba rasakan sendiri, tak perlu berceloteh atau pun berbuat sesuatu yang kecil sekalipun. Cukup rasakan maka kita tahu bagaimana masalah kita akan selesai.




Menyelesaikan metamorphosis diri sendiri menjadi tujuan hidaup yang sekarang sungguh sudah tidak mungkin terelakkan lagi.